Mari kita mengenal lebih dekat St. Yusuf - Abdi yg Istimewa bagi yg mencintai Yesus dan Maria.
Sharing hidup Iman. Rohani dan Spiritual Sang Abdi yg Istimewa..... Dari beberapa sumber Partis Corde dalam refleksi dan renungan.
Lama misteri Bapa Yusut karena memang tidak banyak kisah tentang beliau di dalam Injil tetapi melalui perjalan Perziarahan Gereja serta Kesaksian iman para kudus dan Penghayatan mendalam dari Bp. Gereja perlahan Gereja mulai tersadar akan Kasih. Perhatian dan Kasih Karunia yg Abdi Yusuf yg Istimewa....
Tiada yg terlambat bagi Allah....
Tiada yg mustahil bagi Nya....
Semua akan indah pada waktunya.....
Ite ad Ioseph
St. Yusuf
(Dari sumber Gereja)
1. Seorang bapak yang dikasihi.
Keagungan Santo Yusuf ada dalam fakta bahwa ia adalah suami Maria dan bapak Yesus. Dengan demikian, “ia menempatkan dirinya untuk melayani seluruh rencana keselamatan,”
seperti ditegaskan oleh Santo Yohanes Chrisostomus.
Santo Paulus VI melihat bahwa peran kebapaannya diungkapkan
secara nyata “dengan menjadikan hidupnya sebagai suatu pelayanan, sebuah pengorbanan kepada misteri Inkarnasi dan misi penebusan yang disatukan didalamnya; dengan menggunakan kuasa hukum yg dimilikinya atas Keluarga Kudus untuk menjadikan hal itu sebagai persembahan total dirinya, hidupnya, dan pekerjaannya; dengan mengubah panggilan manusiawinya untuk kasih rumah tangga menjadi persembahan istimewa dari dirinya, hatinya dan semua kemampuannya, suatu kasih yang ditempatkan pada pelayanan bagi Mesias yang bertumbuh kembang di rumahnya.”
Berkat perannya dalam sejarah keselamatan, Santo Yusuf menjadi seorang bapa yg selalu dikasihi oleh umat kristiani, seperti ditunjukkan oleh fakta bahwa banyak sekali gereja yang telah dipersembahkan kepadanya di seluruh dunia; bahwa banyak lembaga religius, persaudaraan religius (Confraternity) dan kelompok-kelompok gerejawi yg diilhami
oleh spiritualitasnya dan memakai namanya; dan bahwa berbagai ungkapan kudus telah diberikan selama berabadabad untuk menghormatinya.
Banyak santo dan santa
berdevosi kepadanya dengan penuh semangat, termasuk Teresa dari Avila, yg menjadikannya sebagai pendorong dan perantaranya, dengan sangat mempercayakan dirinya kepadanya dan menerima semua rahmat yg dimintanya darinya; terdorong oleh pengalamannya sendiri, Santa Teresa menganjurkan orang lain untuk berdevosi kepadanya.
Setiap buku doa memuat doa-doa kepada Santo Yusuf. Permohonan-permohonan khusus ditujukan kepadanya setiap
Rabu dan terutama selama bulan Maret yg secara tradisional dipersembahkan kepadanya.
Inspirasi dari Perj. Lama....
(Inspirasi iman dari Yakub putra Yusuf Perj. Lama)
Kepercayaan umat pada Santo Yusuf dirangkum dalam ungkapan “Pergilah kepada Yusuf (Ite ad Ioseph)”, yg
merujuk pada.... saat kelaparan di Mesir ketika orang-orang meminta roti kepada Firaun dan ia menjawab “Pergilah kepada Yusuf, perbuatlah apa yang akan dikatakannya kepadamu” (Kej 41:55). Itu adalah Yusuf, anak Yakub yg dijual karena kecemburuan para saudaranya (bdk. Kej 37:11-28) dan yg menurut kisah biblis – kemudian menjadi raja muda Mesir (bdk. Kej 41:41-44). Sebagai keturunan Daud (bdk. Mat 1:16-20), yg dari akarnya Yesus akan bertunas menurut janji yg dibuat nabi Natan kepada Daud (bdk. 2Sam 7), dan sebagai suami Maria dari Nazaret, Santo Yusuf adalah sendi yg menghubungkan Perjanjian Lama dengan Perjanjian Baru.
2. Seorang bapak yg lembut dan penuh kasih.
Yusuf melihat Yesus bertumbuh dari hari ke hari “bertambah hikmat-Nya dan besar-Nya, dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia” (Luk 2:52).
Seperti dilakukan Tuhan kepada Israel,
demikian juga Yusuf “mengajar-Nya berjalan, dengan memegang-Nya dengan tangannya: Bagi-Nya ia seperti seorang
ayah yg mengangkat seorang anak ke pipinya, dengan membungkuk kepada-Nya untuk memberi-Nya makan” (bdk.
Hos. 11: 3-4)
Yesus melihat kelemah lembutan Allah pada Yusuf: “Seperti bapa sayang kepada anak-anaknya, demikian TUHAN sayang
kepada orang-orang yang takut akan Dia” (Mzm 103:13).
Yusuf tentu saja telah mendengar gema di sinagoga, selama doa Mazmur bahwa Allah Israel adalah Allah kelemah lembutan, yg baik kepada setiap orang dan yang “penuh rahmat terhadap segala yang dijadikan-Nya” (Mzm 145:9).
Sejarah keselamatan terpenuhi “dalam harapan melawan semua harapan” (Rom 4:18), melalui kelemahan kita. Terlalu
sering kita berpikir bahwa Allah hanya mengandalkan bagian diri kita yg baik dan berhasil, sementara pada kenyataannya kebanyakan rencana-Nya terpenuhi dalam kelemahan kita, dan meskipun seperti itu adanya. Maka, inilah yang membuat....
Santo Paulus mengatakan: “Dan supaya aku jangan meninggikan diri karena penyataan-penyataan yang luar biasa itu,
maka aku diberi suatu duri di dalam dagingku, yaitu seorang utusan Iblis untuk menggocoh aku, supaya aku jangan meninggikan diri. Tentang hal itu aku sudah tiga kali berseru kepada Tuhan, supaya utusan Iblis itu mundur dari padaku. Tetapi jawab Tuhan kepadaku: ‘Cukuplah kasih karunia-Ku
bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi
sempurna'” (2Kor 12:7-9).
Jika ini adalah Rencana tata keselamatan, kita harus belajarmenerima kelemahan kita dengan kelembutan mendalam.
Si Jahat menyebabkan kita memandang kerapuhan kita dengan penilaian negatif, sementara Roh meneranginya dengan kelemahlembutan. Kelemahlembutan adalah cara terbaik untuk menyentuh apa yang rapuh dalam diri kita.
Jari yang menunjuk dan penilaian yg digunakan kepada orang lain sering
kali menjadi tanda ketidak mampuan untuk menerima kelemahan-kelemahan dalam diri kita sendiri, kerapuhan kita.
Hanya kelembutan akan menyelamatkan kita dari perbuatan pendakwa (bdk. Why 12:10).
Itulah sebabnya penting menjumpai Belas Kasih Allah, terutama dalam Sakramen Rekonsiliasi, di mana kita memperoleh pengalaman kebenaran dan
kelemahlembutan. Secara paradoks meskipun si Jahat dapat mengatakan kepada kita kebenaran, tetapi itu dilakukannya hanya untuk menghukum kita. Namun demikian, kita tahu
bahwa Kebenaran yg datang dari Allah tidak menghukum kita, tetapi menerima kita, mendukung kita, mengampuni kita.
Kebenaran selalu menghadirkan dirinya kepada kita sebagai Bapa ygg penuh kerahiman seperti dalam perumpamaan
Yesus (bdk. Luk 15:11-32): datang untuk menjumpai kita, memulihkan martabat kita, membuat kita kembali berdiri
tegak dan bersukacita bagi kita, dengan motivasi bahwa “Sebab anakku ini telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah
hilang dan didapat kembali” (ay 24).
Bahkan melalui kecemasan Yusuf, terjadilah kehendak Allah, sejarahnya, rencananya. Yusuf mengajar kita bahwa memiliki iman kepada Tuhan juga mencakup kepercayaan bahwa Dia
juga dapat bekerja melalui ketakutan kita, kerapuhan kita, kelemahan kita.
Dan itu mengajarkan kita bahwa, di tengah prahara kehidupan, kita tidak boleh takut untuk menyerahkan kemudi perahu
kita kepada Allah. Terkadang kita ingin mengontrol segalanya, tetapi Dia selalu memiliki gambaran yang lebih besar.
3. Seorang bapak yang taat.
Seperti apa yg Allah kerjakan kepada Maria, ketika Dia mewujudkan rencana keselamatan-Nya kepadanya, demikian juga dia mewahyukan rencana-Nya kepada Yusuf; dan dia melakukannya melalui mimpi, yg di dalam Alkitab, seperti di
antara semua bangsa kuno, dipandang sebagai salah satu sarana yg digunakan Allah untuk menyatakan kehendakNya.
Yusuf sangat risau oleh kehamilan Maria yang tidak dapat dipahami: dia tidak ingin “mencemarkan nama isterinya di muka
umum,” tetapi memutuskan untuk “menceraikannya dengan diam-diam” (Mat 1:19). Dalam mimpi pertama, malaikat membantunya memecahkan dan memberi pencerahan saat dilema beratnya: “janganlah engkau takut mengambil Maria sebagai isterimu, sebab anak yang di dalam kandungannya adalah dari Roh Kudus. Ia akan melahirkan anak laki-laki dan engkau akan menamakan Dia Yesus, karena Dialah yang akan umatnya dari dosa mereka (Mat 1 : 20-21)
Yusuf segera menanggapi: “Sesudah bangun dari tidurnya, Yusuf berbuat seperti yang diperintahkan malaikat Tuhan itu kepadanya” (Mat 1:24).
Ketaatan memungkinkannya untuk mengatasi kesulitannya dan menyelamatkan Maria. Dalam mimpinya yang kedua, malaikat berkata kepada Yosef: “Bangunlah, ambillah Anak itu serta ibu-Nya, larilah ke Mesir dan tinggallah di sana sampai Aku berfirman kepadamu, karena Herodes akan mencari Anak itu untuk membunuh Dia” (Mat 2:13).
Yusuf tidak ragu untuk menaatinya, tanpa bertanyatanya tentang kesulitan yang akan dihadapinya: “Maka Yusuf pun bangunlah, diambilnya Anak itu serta ibu-Nya malam itu juga, lalu menyingkir ke Mesir, dan tinggal di sana hingga Herodes mati” (Mat 2:14-15).
Di Mesir Yusuf dengan kepercayaan dan kesabaran menanti pemberitahuan yg dijanjikan oleh malaikat untuk kembali
ke negaranya.
Segera setelah utusan ilahi, dalam mimpi ketiga, memberitahunya bahwa mereka yg mencoba membunuh Anak itu sudah mati, dan memerintahkannya untuk bangun,
membawa Anak itu dan ibu-Nya bersamanya dan kembali ke
tanah Israel (bdk. Mat 2:19-20),
Ia sekali lagi menaati tanpa ragu-ragu: “Yusuf pun bangunlah, diambilnya Anak itu serta ibu-Nya dan pergi ke tanah Israel” (Mat 2:21).
Tapi dalam perjalanan pulang, “setelah didengarnya, bahwa Arkhelaus menjadi raja di Yudea menggantikan Herodes,
ayahnya, ia takut ke sana. Karena dinasihati dalam mimpi”
dan ini adalah yang keempat kalinya terjadi “pergilah Yusuf ke daerah Galilea... di sana iapun tinggal di sebuah kota yang bernama Nazareth. (Mat 2 : 22-23)
Nubuat nabi tergenapi....
Penginjil Lukas, pada bagiannya, mengisahkan bahwa Yusuf menghadapi perjalanan panjang dan tidak nyaman dari
Nazaret ke Betlehem untuk didaftarkan di kota asalnya sesuai hukum Kaisar Caesar Augustus yg berkaitan dengan sensus.
Dan justru dalam keadaan inilah Yesus lahir (bdk 2: 1-7), ....
Daud adalah anak seorang dari Efrata, dari Betlehem-Yehuda, yang bernama Isai. Isai mempunyai delapan anak laki-laki. Pada zaman Saul orang itu telah tua dan lanjut usianya. Tetapi Daud selalu pulang dari pada Saul untuk menggembalakan domba ayahnya di Betlehem. Kata Saul kepadanya: "Anak siapakah engkau, ya orang muda?" Jawab Daud: "Anak hamba tuanku, Isai, orang Betlehem itu." (1Sam 17:12,15,58)
Daud dan seluruh orang Israel mengangkut tabut TUHAN itu dengan diiringi sorak dan bunyi sangkakala. Tabut TUHAN itu dibawa masuk, lalu diletakkan di tempatnya, di dalam kemah yang dibentangkan Daud untuk itu, kemudian Daud mempersembahkan korban bakaran dan korban keselamatan di hadapan TUHAN. (2Sam 6:15,17)
Maria simbol Tabut Perjanjian Baru
dan kelahiran-Nya didaftarkan dalam daftar Kekaisaran, seperti semua anak lainnya.
Santo Lukas khususnya tertarik untuk menunjukkan bahwa orangtua Yesus mematuhi semua ketentuan hukum: upacara sunat Yesus, pemurnian Maria setelah melahirkan, persembahan Anak pertama kepada Allah (bdk.2:21-24).
Di setiap keadaan, Yusuf menyatakan “fiat”nya sendiri, seperti fiat Maria pada Kabar Sukacita dan Yesus di Taman Getsemani. Yusuf, dalam perannya sebagai kepala keluarga, mengajar Yesus untuk patuh kepada orang tua-Nya (bdk. Luk 2:51), seturut perintah Allah (bdk. Kel 20:12).
Dalam persembunyian di Nazaret, di sekolah Yusuf, Yesus belajar melakukan kehendak Bapa. Kehendak itu menjadi makanan-Nya sehari-hari (bdk. Yoh 4:34). Bahkan pada saat paling sulit dalam hidup-Nya, yg dialami di Getsemani, Ia lebih suka melakukan kehendak Bapa dan bukan kehendak-Nya sendiri, dan menjadi “taat sampai mati.... bahkan sampai
mati di kayu salib” (Flp 2:8).
Untuk ini, penulis Surat kepada Orang-orang Ibrani menyimpulkan bahwa Yesus “belajar menjadi taat apa yang diderita Nya.
Dari semua peristiwa ini tampaklah bahwa Yusuf “dipanggil oleh Allah untuk secara langsung melayani pribadi dan misi
Yesus melalui pelaksanaan peran kebapaannya,” justru dengan cara ini, “ia bekerjasama dalam kepenuhan waktu dalam misteri agung keselamatan dan sungguh menjadi pelayan keselamatan.”
4. Seorang bapak yang menerima.
Yusuf menerima Maria tanpa menuntut syarat apa pun. Ia mempercayai kata-kata malaikat.
“Keluhuran budinya membuatnya tunduk pada cinta kasih yang telah dipelajarinya
melalui hukum; dan sekarang, dalam dunia di mana kekerasan psikologis, verbal, dan fisik terhadap perempuan tampak
nyata, Yusuf tampil sebagai tokoh laki-laki yang penuh hormat dan peka, meskipun tidak memiliki segala informasi, dan
memutuskan untuk melindungi nama baik, martabat dan hidup Maria. Dan dalam keraguannya tentang cara terbaik
untuk bertindak, Allah menolongnya memilih dengan menerangi pertimbangannya.”
Sering kali dalam hidup kita, banyak peristiwa terjadi yg maknanya tidak kita pahami. Reaksi pertama kita sering kali
adalah reaksi kekecewaan dan pemberontakan. Yusuf mengesampingkan pemikirannya untuk memberi ruang atas apa yg sedang terjadi, dan betapapun tampak misteriusnya itu di matanya, ia menerimanya, mengambil tanggung jawab atas hal itu dan mendamaikan dengan dirinya sendiri.
Bila kita tidak berdamai dengan sejarah kita sendiri, kita bahkan tidak akan mampu melangkah lebih jauh karena kita
akan selalu tetap tersandera oleh harapan kita sendiri dan kekecewaan yg ditimbulkannya. Jalan rohani yg ditunjukkan Yusuf kepada kita bukanlah
jalan yang menjelaskan, tetapi jalan yang menerima. Hanya berangkat dari penerimaan, dari pendamaian ini, maka orang juga bisa memahami sejarah yg lebih besar, makna yg lebih dalam. Kata-kata Ayub yg penuh semangat tampak bergema, yang menjawab ajakan istrinya untuk memberontak terhadap semua kejahatan yang menimpanya: “Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?” (Ayb 2:10).
Yusuf bukanlah orang yg mundur dengan pasif. Ia adalah pelaku yg berani dan kuat. Penerimaan adalah jalan yg melaluinya karunia kekuatan yg diberikan Roh Kudus
kepada kita diwujudkan dalam hidup kita. Hanya Allah bisa menganugerahkan kepada kita kekuatan untuk menerima
kehidupan seperti apa adanya, untuk memberi ruang pada bagian kehidupan yang kontradiktif, tidak terduga dan
mengecewakan.
Kedatangan Yesus di tengah-tengah kita merupakan karunia dari Bapa agar setiap dari kita dapat diperdamaikan dengan
kedagingan sejarah kita sendiri, bahkan bilamana kita tidak sepenuhnya memahaminya.
Seperti Allah berbicara kepada Santo kita: “Yusuf, anak Daud, janganlah engkau takut!” (Mat 1:20),
demikian juga Dia mengulangi pada kita; “Jangan takut!” Perlulah mengesampingkan segala kemarahan dan kekecewaan serta memberi ruang,
tanpa kepasrahan duniawi tetapi dengan kekuatan penuh harapan, pada apa yg tidak kita pilih, namun ada.
Menerima kehidupan secara demikian memperkenalkan kepada kita makna tersembunyi.
Hidup kita masing-masing dapat dilahirkan kembali secara menakjubkan jika kita menemukan keberanian untuk menjalaninya sesuai dengan apa yg
dikatakan Injil kepada kita.
Tidak menjadi masalah jika saat ini segala sesuatu tampak berjalan tidak semestinya dan jika beberapa hal sekarang tidak dapat diperbaiki. Allah bisa membuat bunga-bunga berkembang di antara bebatuan.
Bahkan bila hati kita menegur kita karena sesuatu, “Allah adalah lebih besar dari pada hati kita serta mengetahui segala
sesuatu” (1Yoh 3:20).
Sekali lagi realisme kristiani kembali, yang tidak membuang apa pun yg sudah ada. Realitas, dalam ketidak sederhanaan
dan kompleksitasnya yg misterius, adalah pembawa makna eksistensi dengan segala terang dan gelapnya.
Inilah yg dikatakan Santo Paulus: “Kita tahu segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia” (Rom 8:28). Dan Santo Agustinus menambahkan “bahkan apa yang
disebut kejahatan (etiam illud quod malum dicitur).”
Dalam perspektif seluruhnya ini, iman memberi makna kepada setiap peristiwa bahagia maupun sedih.
Hendaknya kita tidak pernah berpikir bahwa percaya berarti menemukan solusi solusi penghiburan yg mudah. Iman yang
diajarkan Kristus kepada kita adalah iman yang kita lihat pada diri Santo Yusuf, yg tidak mencari jalan pintas, tetapi
menghadapi dengan “mata terbuka” apa yang sedang terjadi padanya, dengan bertanggungjawab atas hal itu secara pribadi.
Penerimaan Yusuf mengundang kita untuk menerima orang lain sebagaimana mereka adanya, tanpa terkecuali, dengan
memberi perhatian lebih pada yang lemah karena Allah memilih apa yg lemah. Dia adalah “Bapa bagi anak yatim dan Pelindung bagi para janda” (bdk. 1Kor 1:27), dan
memerintahkan kita untuk mengasihi orang asing. Saya ingin membayangkan bahwa dari sikap-sikap Yusuf, Yesus memperoleh inspirasi bagi perumpamaan anak yang hilang dan bapa yang berbelas kasih (bdk. Luk 15:11-32).
5. Seorang bapak yang berani secara kreatif.
Jika dalam tahap pertama penyembuhan batin sejati adalah menerima sejarah diri sendiri, yakni untuk menerima dalam
diri kita sendiri bahkan apa pun yang tidak kita pilih dalam hidup kita, kita perlu menambahkan suatu unsur penting
lainnya: keberanian kreatif. Ini timbul terutama ketika kita menjumpai kesulitan kesulitan. Sesungguhnya, orang bisa berhenti dan meninggalkan gelanggang, atau justru mengupayakan beberapa hal. Terkadang justru kesulitan menumbuhkan
sumber-sumber daya dari dalam diri kita yang tidak pernah kita pikirkan bahwa kita memilikinya.
Banyak kali ketika membaca “Injil masa kanak-kanak,” kita bertanya-tanya mengapa Allah tidak bertindak secara langsung dan jelas.
Tetapi Allah campur tangan melalui peristiwa peristiwa dan orang-orang.
Yusuf adalah orang yang melaluinya Allah menjaga permulaan sejarah penebusan. Ia adalah “keajaiban” sejati yg dengannya Allah menyelamatkan Anak dan ibu-Nya. Allah bertindak dengan mempercayakan pada keberanian kreatif Yusuf, yg setiba di Betlehem tidak menemukan tempat di mana Maria bisa melahirkan, ia mengatur sebuah kandang dan menatanya kembali sehingga sedapat mungkin menjadi tempat penyambutan bagi Putra Allah yang datang ke dunia (bdk. Luk 2:6-7).
Berhadapan dengan bahaya yg akan datang dari Herodes yang ingin membunuh Sang Anak, sekali lagi dalam mimpi Yosef diperingatkan untuk melindungi Sang Anak, dan di tengah malam ia bersiap-siap untuk menyingkir ke Mesir (bdk. Mat 2:13-14).
Pembacaan dangkal dari kisah-kisah ini selalu menimbulkan kesan bahwa dunia berada di bawah belas kasihan yang kuat
dan berkuasa, tetapi “kabar baik” Injil adalah dengan menunjukkan bahwa Allah selalu menemukan cara untuk mewujudkan rencana keselamatan-Nya, meskipun ada kesombongan
dan kekerasan para penguasa dunia. Meskipun hidup kita tampak dalam belas kasihan kekuasaan yang kuat, tetapi Injil
mengatakan pada kita bahwa yang penting adalah Allah selalu menemukan cara untuk menyelamatkan kita, asalkan kita menggunakan keberanian yang sama seperti tukang kayu dari Nazaret itu yang tahu bagaimana mengubah masalah menjadi peluang dengan selalu menaruh kepercayaan pada penyelenggaraan Illahi.
Bila kadang Allah tampaknya tidak menolong kita, ini tidak berarti bahwa Dia telah meninggalkan kita, tetapi bahwa Dia
mempercayai kita, akan apa yg bisa kita rancang, ciptakan dan temukan.
Ini adalah keberanian kreatif yang sama yg ditunjukkan oleh para sahabat orang lumpuh, yang untuk sampai di hadapan Yesus, menurunkannya dari atap rumah (bdk. Luk 5:17-26).
Kesulitan tidak menghentikan keberanian dan ketegaran para sahabat itu. Mereka yakin bahwa Yesus bisa menyembuhkan si sakit dan (karena) “tidak dapat membawanya masuk berhubung dengan banyaknya orang di situ, naiklah mereka ke atap rumah, lalu membongkar atap itu, dan
menurunkan orang itu dengan tempat tidurnya ke tengahtengah orang banyak tepat di depan Yesus. Ketika Yesus
melihat iman mereka, berkatalah Ia: ‘Hai saudara, dosamu sudah diampuni’ (ay. 19-20). Jesus mengenali iman kreatif yang
dengannya mereka berusaha membawa sahabat mereka yang sakit kepada-Nya.
Injil tidak memberitahu berapa lamanya Maria, Yusuf dan Anak tinggal di Mesir. Namun, tentu saja mereka harus makan,
menemukan sebuah rumah, sebuah pekerjaan.
Tidak perlu banyak imajinasi untuk mengisi sikap diam Injil mengenai hal ini. Keluarga Kudus harus menghadapi masalah konkret seperti halnya keluarga-keluarga lainnya, seperti banyak
saudara migran kita yang bahkan saat ini mempertaruhkan hidup mereka yang dipaksa oleh situasi kemalangan dan
kelaparan.
Dalam arti ini, saya percaya bahwa Santo Yusuf adalah sungguh seorang pelindung istimewa bagi mereka yang meninggalkan tanah air mereka karena peperangan, kebencian, penganiayaan, dan kesengsaraan.
Pada akhir setiap kisah yg memandang Yusuf sebagai pelaku utama, Injil menuliskan bahwa ia bangun, membawa Anak dan ibu-Nya, dan melakukan apa yang Allah perintahkan kepadanya (bdk. Mat 1:24; 2:14.21).
Sesungguhnya, Yesus dan Maria ibu-Nya adalah harta pusaka iman kita yg paling berharga.
Dalam rencana keselamatan Anak tidak dipisahkan dari IbuNya, dari orang yang “melangkah maju dalam peziarahan
iman. Dengan setia ia mempertahankan persatuannya dengan Putranya hingga di salib.”
Marilah kepadaKu, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah padaKu, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan bebanKupun ringan." (Mat 11:28-30)
Kita harus selalu bertanya pada diri kita sendiri apakah kita sedang melindungi dengan segenap kekuatan kita Yesus dan
Maria yg secara misteri dipercayakan kepada tanggung jawab kita, pemeliharaan kita, dan penjagaan kita. Putra Yg
Mahakuasa datang ke dunia dengan mengenakan keadaan yg sangat lemah. Dia membutuhkan Yusuf untuk dijaga,
dilindungi, dirawat, dibesarkan. Allah mempercayai laki-laki ini, seperti halnya Maria, yang menemukan dalam Yusuf
seseorang yg tidak hanya ingin menyelamatkan hidupnya, tetapi yg selalu menafkahinya, juga Anak itu.
Dalam arti ini, Santo Yusuf tidak bisa tidak menjadi Penjaga Gereja karena
Gereja adalah kepanjangan Tubuh Kristus dalam sejarah, dan sekaligus keibuan Maria tercerminkan dalam keibuan Gereja.
Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga. Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat. Bersukacita dan bergembiralah, karena upahmu besar di sorga, sebab demikian juga telah dianiaya nabi-nabi yang sebelum kamu." (Mat 5:10-12)
Yusuf, dengan terus melindungi Gereja, juga terus melindungi Anak dan ibu-Nya, dan dengan mengasihi Gereja, kita juga
terus mengasihi Anak dan ibu-Nya.
Anak inilah yg akan berkata: “segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yg paling hina
ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Mat 25:40).
Maka, setiap orang yg membutuhkan, setiap orang miskin, setiap orang yg menderita, setiap orang yang menjelang kematian, setiap orang asing, setiap orang yg dipenjara, setiap orang sakit adalah “Anak” yg terus dijaga Yusuf.
Inilah sebabnya
Yusuf dimohonkan sebagai pelindung orang yg menderita,
orang yang membutuhkan, orang yg terbuang, orang yg sengsara, orang miskin, dan orang yg menjelang kematian.
Dan inilah sebabnya Gereja harus pertama-tama mengasihi yg paling kecil dari mereka karena Yesus telah menempatkan perhatian utama-Nya kepada mereka, sebagai identifikasi
pribadi-Nya.
Dari Yusuf kita harus belajar perhatian dan tanggung jawab yang sama: untuk mengasihi Anak dan ibuNya; mencintai sakramen-sakramen dan amal kasih; mencintai Gereja dan orang-orang miskin. Masing-masing dari realitas ini
selalu adalah Anak dan ibu-Nya.
Jawab Yesus: "Hukum yang terutama ialah: Dengarlah, hai orang Israel, Tuhan Allah kita, Tuhan itu esa. Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu. Dan hukum yang kedua ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Tidak ada hukum lain yang lebih utama dari pada kedua hukum ini." Memang mengasihi Dia dengan segenap hati dan dengan segenap pengertian dan dengan segenap kekuatan, dan juga mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri adalah jauh lebih utama dari pada semua korban bakaran dan korban sembelihan." (Mrk 12:29-31,33)
Suatu aspek yang menjadi ciri khas Santo Yusuf dan yg telah disoroti sejak zaman ensiklik sosial pertama dari Paus Leo XIII, rerum novarum, kaitanya dengan pekerjaan.
Santo Yusuf adalah seorang tukang kayu yang bekerja dengan jujur untuk menghidupi keluarganya. Dari dia, Yesus belajar tentang nilai, martabat dan kegembiraan apa artinya makan
roti yg merupakan hasil usahanya sendiri.
Di zaman kita di mana pekerjaan tampak telah kembali menunjukkan isu sosial penting dan pengangguran kadang mencapai tingkat luar biasa, bahkan di negara-negara yang telah mengalami kesejahteraan tertentu selama berabad-abad, dengan kesadaran yang dibarui perlulah memahami makna
kerja yang memberi martabat dan yang dengannya Santo Yusuf menjadi pelindung yang patut diteladani.
Kerja merupakan partisipasi dalam karya keselamatan, suatu peluang untuk mempercepat datangnya Kerajaan, untuk meningkatkan potensi dan kualitas seseorang, dengan menempatkannya pada pelayanan masyarakat dan komunitas.
Pekerjaan menjadi peluang bukan hanya untuk realisasi diri sendiri, melainkan terutama untuk realisasi sel inti masyarakat, yakni keluarga. Suatu keluarga yang tidak memiliki
pekerjaan lebih rentan terhadap kesulitan, ketegangan, perpecahan dan bahkan kepada godaan putus asa dan keputusasaan menuju perpecahan.
Bagaimana kita bisa berbicara tentang
martabat manusia tanpa melibatkan diri agar setiap orang memiliki peluang untuk memperoleh nafkah hidup yg layak?
Melihat orang banyak itu, tergeraklah hati Yesus oleh belas kasihan kepada mereka, karena mereka lelah dan terlantar seperti domba yang tidak bergembala. (Mat 9:36)
Pribadi yang bekerja, apa pun pekerjaannya, bekerjasama dengan Allah sendiri, menjadi pencipta-pencipta kecil dunia di sekeliling kita.
Krisis zaman kita yg bersifat ekonomi, sosial, budaya dan rohani, dapat menunjukkan pada setiap orang suatu seruan untuk menemukan kembali nilai, kepentingan dan kebutuhan kerja untuk membangkitkan suatu “normal” baru, di mana tak seorang pun dikecualikan.
Pekerjaan Santo Yusuf mengingatkan kita bahwa Allah sendiri dengan menjadi manusia tidak meremehkan pekerjaan. Kehilangan pekerjaan yg berdampak pada banyak saudara dan saudari, dan yang telah meningkat baru-baru ini akibat pandemi Covid-19, harus
mengingatkan kita untuk meninjau kembali prioritas-prioritas kita.
Marilah kita mohon kepada Santo Yusuf Pekerja agar kita menemukan cara-cara untuk berkomitmen mengatakan: tidak
ada orang muda, tidak ada pribadi, tidak ada keluarga yang tanpa pekerjaan!
7. Seorang bapak dalam bayang-bayang.
Seorang penulis Polandia Jan DobraczyĆski, dalam bukunya
The Shadow of the Father, telah menuliskan kehidupan St Yusuf dalam bentuk sebuah novel. Dengan gambaran yang menggugah hati tentang bayang-bayang, ia menjelaskan sosok
Santo Yusuf yang di hadapan Yesus adalah bayang-bayang di dunia akan Bapa Surgawi yg: menjaga-Nya, melindungi-Nya, tidak pernah meninggalkan-Nya untuk mengikuti langkahlangkah-Nya.
Marilah kita berpikir tentang apa yg diperingatkan Musa kepada Israel: “di padang gurun …engkau melihat bahwa TUHAN, Allahmu, mendukung engkau, seperti seseorang mendukung anaknya, sepanjang jalan yang kamu
tempuh” (Ul 1:31).
Maka, Yusuf telah melaksanakan peran kebapaannya sepanjang hidupnya.
Para bapak tidak dilahirkan, tetapi diciptakan. Seorang laki laki tidak menjadi seorang bapak semata-mata karena seorang anak dilahirkan, tetapi karena ia merawatnya secara bertanggungjawab. Kapanpun seseorang bertanggung jawab atas kehidupan orang lain, dalam arti tertentu ia menjalankan peran kebapaannya terhadap orang itu.
Di masyarakat kita dewasa ini anak-anak tampak seperti tidak memiliki bapak. Gereja sekarang ini juga memerlukan para
bapa.
Nasihat Santo Paulus kepada umat di Korintus tetap aktual: “sekalipun kamu mempunyai beribu-ribu pendidik
dalam Kristus, kamu tidak mempunyai banyak bapa” (1Kor 4:15).
Setiap imam atau uskup hendaknya bisa menambahkan, seperti Rasul itu: “akulah yang dalam Kristus Yesus telah
menjadi bapamu oleh Injil” (ibid.). Kepada umat di Galatia ia mengatakan: “Hai anak-anakku, karena kamu aku menderita
sakit bersalin lagi, sampai rupa Kristus menjadi nyata di dalam kamu” (4:19).
Menjadi seorang bapak berarti mengenalkan anak kepada pengalaman hidup, kepada realitas. Jangan menahannya, jangan memenjarakannya, jangan memilikinya, melainkan buatlah ia
mampu memilih, bebas, dan pergi. Barangkali inilah sebabnya, selain penyebutan sebagai bapak, tradisi juga telah menempatkan Santo Yusuf sebagai bapak “yang amat suci.”
Sebutan ini bukan hanya petanda emosional, melainkan sintesis dari suatu
sikap yang berlawanan dengan sikap posesif. Kesucian adalah bebas dari sikap posesif dalam seluruh lingkup kehidupan.
Bila kasih itu murni, kasih itu sejati.
Cinta yg ingin memiliki pada akhirnya selalu menjadi berbahaya, memenjara, mencekik, membuat kita tidak bahagia.
Raihlah cinta yg membebaskan dari Cinta Diri....
Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu. Dan Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap, supaya apa yang kamu minta kepada Bapa dalam namaKu, diberikanNya kepadamu. Inilah perintahKu kepadamu: Kasihilah seorang akan yang lain." (Yoh 15:16-17)
Allah sendiri mengasihi manusia dengan kasih murni, dengan membiarkannya bebas bahkan sampai berbuat kesalahan dan menentang-Nya.
Dan apabila kamu hanya memberi salam kepada saudara-saudaramu saja, apakah lebihnya dari pada perbuatan orang lain? Bukankah orang yang tidak mengenal Allahpun berbuat demikian? Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna." (Mat 5:47-48)
Logika kasih adalah selalu logika kebebasan. Yusuf mengetahui bagaimana mengasihi dengan kebebasan luar biasa. Ia tidak pernah menempatkan dirinya sebagai pusat. Ia tahu bagaimana membuat dirinya bukan sebagai pusat, ia menempatkan Maria dan Yesus sebagai pusat kehidupannya. Kebahagiaan Yusuf bukanlah sekadar logika pengorbanan diri, melainkan pemberian diri.
Karena barangsiapa mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya. (Mat 16:25)
Orang tidak pernah melihat sikap frustasi pada diri Yusuf, tetapi suatu kepercayaan. Sikap diamnya yang teguh tidak berisi keluhan-keluhan, tetapi selalu
merupakan sikap penuh kepercayaan. Dunia membutuhkan para bapak. Dunia menolak para penguasa, yakni menolak
mereka yang ingin memanfaatkan sikap posesif terhadap orang lain untuk mengisi kekosongan mereka sendiri; menolak
mereka yang mengacaukan otoritas dengan otoritarianisme, pelayanan dengan penghambaan, perlawanan dengan penindasan, amal kasih dengan ketergantungan pasif pada bantuan,
kekuatan dengan perusakan. Setiap panggilan sejati lahir dari pemberian diri, yang merupakan buah kematangan dari
pengorbanan sederhana.
Jenis kematangan ini juga dituntut
pada imamat dan hidup bakti. Di mana suatu panggilan, apakah perkawinan, selibat atau keperawanan, tidak mencapai
kematangan pemberian diri, itu berhenti hanya pada logika pengorbanan. Kemudian, alih-alih menjadi tanda keindahan dan sukacita kasih, itu justru berisiko mengungkapkan ketidak bahagiaan, kesedihan dan frustasi.
Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian? (Mat 5:46)
Kebapaan yang menolak godaan untuk menjiwai hidup anakanaknya selalu membuka ruang-ruang untuk hal-hal yang
belum pernah terjadi sebelumnya. Setiap anak selalu membawa bersamanya suatu misteri, hal yang belum pernah ada
yang hanya bisa diungkapkan dengan bantuan seorang bapak yang menghormati kebebasannya. Seorang bapak sadar untuk melaksanakan tindakan mendidik dan menjalankan peran
kebapaannya sepenuhnya hanya ketika ia telah membuat dirinya “tak berguna,” ketika ia melihat bahwa anak menjadi
mandiri dan menapaki sendiri jalan kehidupannya, ketika ia
menempatkan dirinya dalam situasi Yusuf, yang selalu mengetahui bahwa Anak itu bukanlah Anaknya, melainkan
karena semata-mata telah dipercayakan kepada pemeliharaannya. Pada dasarnya, inilah apa yang Yesus maksudkan
ketika Dia berkata: “janganlah kamu menyebut siapapun bapa di bumi ini, karena hanya satu Bapamu, yaitu Dia yang di sorga” (Mat 23:9).
Kapanpun kita mendapati diri kita dalam posisi menjalankan peran kebapaan, kita harus selalu ingat bahwa ini tidak pernah
menjadi pelaksanaan sikap posesif, tetapi menjadi suatu “tanda” yang merujuk pada kebapaan yang lebih tinggi.
Dalam arti tertentu, kita semua selalu berada dalam keadaan Yusuf:
bayang-bayang Bapa satu-satunya di surga, yang “yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik
dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar” (Mat 5:45); dan bayang-bayang yang mengikuti
Putra Nya.
“Bangunlah, ambillah Anak itu serta ibu-Nya” (Mat 2:13),
perintah Allah kepada Santo Yusuf.
Tujuan Surat Apostolik ini adalah untuk meningkatkan cinta kita kepada Santo agung ini, untuk mendorong kita memohon
keperantaraannya dan meneladan keutamaan dan semangatnya.
Pada kenyataannya, misi khusus para orang kudus bukan hanya untuk menganugerahkan mukjizat dan rahmat, melainkan untuk menjadi perantara kita di hadapan Allah, seperti yang dilakukan Abraham dan Musa, seperti Yesus
“satu-satunya Pengantara” (1Tim 2:5), yang menjadi “Pengantara” kita dengan Bapa (1Yoh 2:1) dan yang “hidup
senantiasa untuk menjadi Pengantara [kita]” (Ibr 7:25; bdk. Rom 8:34).
Para orang kudus membantu semua umat beriman untuk “mengejar kesucian dan kesempurnaan status hidup mereka.”
Hidup mereka adalah bukti nyata bahwa menghidupi Injil itu mungkin.
Yesus berkata: “belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati” (Mat 11:29), dan para orang kudus sebaliknya adalah teladan hidup yang perlu dicontoh.
Santo Paulus dengan tegas menyerukan ini: “turutilah teladanku!” (1 Kor
4:16).
St Yusuf mengatakan hal yang sama melalui sikap diamnya yang cemerlang.
Di hadapan teladan dari banyak orang kudus,
Santo Agustinus bertanya pada dirinya sendiri: “Apa yang dapat mereka
lakukan, akankah engkau tidak dapat melakukannya?” Dan dengan demikian ia mencapai pertobatan definitif dengan
menyerukan: “Terlambatlah aku mencintaimu, o Keindahan yang begitu kuno dan begitu baru!”
Kita hanya perlu memohonkan dari Santo Yusuf rahmat dari segala rahmat: pertobatan kita.
Marilah kita berdoa kepadanya:
Salam, Penjaga Sang Penebus,
Suami Perawan Maria yang Terberkati.
Kepadamu Allah mempercayakan Putra tunggal-Nya;
kepadamu Maria menaruh kepercayaannya;
bersama denganmu Yesus menjadi manusia.
O Yusuf yang terberkati,
perlihatkanlah dirimu sebagai seorang bapa juga bagi kami, dan
bimbinglah kami di sepanjang
perjalanan hidup.
Perolehkanlah bagi kami rahmat, belas kasih dan keberanian,
dan lindungilah kami dari segala yang jahat.
Amin.
JADILAH YUSUF YG LAIN, menurut talenta dan panggilan hidup serta kemampuan masing2.
Semoga berkenan.
Ite ad Ioseph
http://doameditasikontemplasi.blogspot.com
Komentar
Posting Komentar