Sangkalah dirimu, Panggulah Salibmu dan Ikutilah Aku
Tanpa menyangkal diri kita tak akan Mengenal Kebenaran.
Tanpa Salib kita tak tau arti Cinta Sejati.
Tanpa Jalan Kristus tak sampai kepada keselamtan dan Kesempurnaan Hidup.
Begitu banyak umat terbaptis kehilangan identitas dan keanggotaannya : mereka tidak tahu konten iman yang esensial atau mereka berpikir bahwa mereka bisa menumbuhkan iman terpisah dari perantaraan Gerejawi.... Mmbangun iman Rasinalisme jauh dari Pokok Anggur.
Dan sementara banyak orang melihat dengan ragu pada kebenaran-kebenaran yang diajarkan Gereja.... Hai, kamuyang kurang percaya haru apa lama Aku membiarkanmu tersesat,....yang lainnya mereduksi Kerajaan Allah menjadi suatu nilai-nilai besar.... Menjadi kosongenuruti Daging dan Pemikiran manusia bukan yany dipikirkan Allah.....Yang tentu berhubungan dengan Injil, tapi tidak lagi berhubungan dengan inti iman Kristen….
Dalam konteks ini, bagaimana kita menghidupi tanggung jawab yang dipercayakan kepada kita oleh Tuhan?”
“Kekudusan bukan berarti tidak membuat kesalahan atau tidak pernah berdosa.... Siapa merasa tidak berdosa lemparlah bat terlebih dahulu....
Kekudusan tumbuh dengan kesanggupan untuk perubahan, pertobatan, kerelaan untuk memulai kembali, dan diatas segalanya, kesanggupan untuk [memulai] rekonsiliasi dan pengampunan.”.... hasilkanlah buah2 sesuai Pertobatan.
“Memiliki iman yang jelas, berdasarkan pada Syahadat Gereja, sering dicap sebagai fundamentalisme. Sedangkan, relativisme, dimana membiarkan diri dilempar dan “tersapu oleh angin pengajaran”,.... Yang tumbuh dari Pemikiran sendiri bukan Tuntunan Roh Kudus....sepertinya merupakan sikap yang satu-satunya diterima pada standar saat ini.
Kita sedang bergerak menuju kediktatoran relativisme yang tidak mengakui apapun yang pasti dan tujuan tertingginya adalah egonya sendiri, memuaskan nafsu jasmani dan rahaninya.... Bukan Allah yang dipermuliakan tetapi dirinya sendiri.... Bertentangan dengan doa Kristus kepada para murid dan keinginannya sendiri menurut nalar diri”
“Setiap kali tepuk tangan terjadi di tengah liturgi yang disebabkan oleh semacam prestasi manusia, itu adalah tanda yang pasti bahwa esensi liturgi telah secara total hilang, dan telah digantikan dengan semacam pertunjukan religius.”.... kehilangan Esensi Rohani.... Semua perkara disimpan dam hati dan direnungkan... Kekeringan hidup Hening. Diam dan Berkontemplasi
“Liturgi bukan tentang kita yang melakukan sesuatu, bukan tentang kita yang menampilkan kreativitas kita, bukan tentang kita menampilkan semua hal yang bisa kita lakukan. Liturgi bukanlah sebuah pertunjukan, teater, ataupun sebuah pawai.”
“Ada yang salah menafsirkan pencarian akan kebenaran ini, yang memimpin mereka kepada irasionalitas dan fanatisme; mereka menutup diri mereka sendiri dalam “kebenarannya”, dan mencoba untuk memaksakannya pada orang lain. …
Siapapun yang bertindak irasional, tidak bisa menjadi murid Yesus. Iman dan akal adalah penting dan saling melengkapi dalam pencarian akan kebenaran.”.... hai orang bodoh betapa lambannya kamu.
“Ketika Allah dikesampingkan, dunia menjadi tempat yang tidak ramah bagi manusia.”
Seringkali doa dilakukan pada situasi-situasi sulit, pada masalah-masalah pribadi yang membawa kita berpaling kepada Tuhan guna mendapatkan keringanan, kenyamanan dan bantuan.... Makna doa bukan untk Semakin Mencinta Allah, terbuka dan bersedia.... tetapi lari dari Salib membangun kebenaran cinta diri tak peduli sesamanya... Siapa
Maria mengajak kita untuk memperluas dimensi doa, untuk berpaling kepada Allah tidak hanya pada saat butuh dan tidak hanya untuk diri kita sendiri, tetapi juga dalam cara yang tak terbagi, tekun, dan setia, dengan ‘sehati sejiwa.’”.... Dalam Kesalehan dan Takut akan Allah.
“Percaya dalam tindakan Roh Kudus harus selalu mendorong kita untuk pergi dan mewartakan Injil, kta didorong untuk menebar jala ketempat yang lebih dalam walau ditengah badai.... Jadikanlah semua murid2 warta kabar sukacita dan tahun rahmat Allah sampai ke ujung dunia.
Menjadi saksi iman yang berani; tapi, selain dari kemungkinan adanya tanggapan positif terhadap karunia iman, juga ada kemungkinan penolakan terhadap Injil, kemungkinan untuk tidak menerima pertemuan penting dengan Kristus..... Berbahagialah orang yang dianiaya karena Kebenaran karena upah besar di surga karena demikian pula nabi2 sebelum kamu.
St. Augustinus sudah menyatakan masalah ini dalam salah satu komentarnya terhadap perumpamaan Penabur.
“Kita berbicara”, ia berkata, “
kita menebar benih, kita menaburkan benih. Ada orang yang mengejek kita, mereka yang mengolok-olok kita, mereka yang mencemoohkan kita.... Aku menguus kamu ketengah tengah Serigala.
Bila kita takut pada mereka kita tidak memiliki apapun untuk ditabur dan pada hari panen kita tidak akan menuai hasil panen. Karenanya semoga benih didalam tanah yang baik dapat bertumbuh”
Penolakan, karenanya tidak dapat melemahkan kita. Sebagai orang Kristen, kita adalah bukti dari tanah yang subur ini. Iman kita, bahkan dengan kelemahan-kelemahan kita, menunjukkan bahwa ada tanah yang baik, dimana benih Sabda Allah menghasilkan buah keadilan, kedamaian, cinta, sukacita, kemanusiaan dan keselamatan yang melimpah.
Dan seluruh sejarah Gereja, dengan semua persoalannya, juga menunjukkan bahwa ada tanah yang baik, bahwa ada benih yang baik dan benih tersebut menghasilkan buah.”.... barang siapa menabur dengan Aku maka akan berbuah banyak.
“Rasa sakit adalah bagian dari manusia. Siapapun yang sungguh ingin menyingkirkan penderitaan harus menyingkirkan cinta dihadapan segalanya, karena tidak ada cinta tanpa penderitaan, karena cinta selalu menuntut sebuah unsur pengorbanan-diri, karena, walau terdapat perbedaan temperamental dan drama situasi, cinta akan selalu membawa bersamanya penolakan dan rasa sakit.
Ketika kita mengetahui bahwa jalan cinta – eksodus ini, keluar dari diri sendiri – adalah jalan sejati yang olehnya manusia menjadi manusia, maka kita juga memahami bahwa penderitaan adalah proses yang melaluinya kita menjadi dewasa.
Siapapun yang menerima penderitaan secara batiniah menjadi lebih dewasa dan lebih memahami orang lain, menjadi lebih manusiawi. Siapapun yang secara konsisten menghindari penderitaan tidak memahami orang lain; ia menjadi keras dan egois.
Namun di sisi lain, saya dibawa keluar dari ketenangan saya yang nyaman dan harus membiarkan diri saya dibentuk kembali. Bila kita berkata bahwa penderitaan adalah sisi batiniah dari cinta, maka kita juga memahami betapa penting untuk belajar menderita dan bermatiraga serta keinginan kemanusiaan untuk Meraih Pencerahan dari Kebenaran
Dan mengapa, sebaliknya, upaya menghindar dari penderitaan membuat seseorang tidak mampu mengatasi kehidupannya. Ia ditinggalkan dengan kekosongan eksistensial, yang selanjutnya digabungkan dengan kepahitan, dengan penolakan dan tidak lagi memiliki penerimaan batin atau perkembangan menuju kedewasaan.”.... Rohani dan Iman.
Komentar
Posting Komentar